Sabtu, 27 November 2010

Siapa yang berhak menerima zakat

Siapa yang berhak menerima zakat
Dalam Quran surat at Taubah ayat 58-60, Allah berfirman yang artinya:

"... Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi fakir miskin, para amil, para muallaf yang dibujuk hatinya, mereka yang diperhamba, orang-orang yang berutang, yang berjuang di jalan Allah, dan orang kehabisan bekal di perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

Jadi jelaslah disini, bahwa golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) ada delapan golongan, yaitu:

Fakir dan Miskin
Fakir dan miskin adalah golongan yang pertama dan kedua disebutkan dalam surat at Taubah, dengan tujuan bahwa sasaran zakat adalah menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan dalam masyarakat Islam. Menurut pemuka ahli tafsir, Tabari, yang dimaksud fakir, yaitu orang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak meminta-minta. Sedangkan yang dimaksud dengan miskin, yaitu orang yang dalam kebutuhan dan suka meminta-minta.
Amil zakat
Sasaran ketiga adalah para amil zakat. Yang dimaksud dengan amil zakat adalah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat, mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya. Juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat.
Golongan muallaf
Yang dimaksudkan dengan golongan muallaf, antara lain adalah mereka yang diharapkan kecenderungan hatinya atau keyakinannya dapat bertambah terhadap Islam, atau terhalangnya niat jahat mereka atas kaum Muslimin, atau harapan akan adanya kemanfaatan mereka dalam membantu dan menolong kaum Muslimin dari musuh. Macam-macam golongan muallaf adalah:
Golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok serta keluarganya
Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya
Golongan orang yang baru masuk Islam
Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang mempunyai sahabat-sahabat kafir.
Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi imannya masih lemah.
Kaum Muslimin yang tinggal di benteng-benteng dan daerah perbatasan musuh.
Kaum Muslimin yang membutuhkannya untuk mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan paksaan.
Untuk memerdekakan budak belian
Cara membebaskan bisa dilakukan dengan dua hal: Pertama, menolong hamba mukatab, yaitu budak yang telah ada perjanjian dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia. Kedua, seseorang dengan harta zakatnya atau seseorang bersama temannya membeli seorang budak kemudian membebaskan. Atau penguasa membeli seorang budak dari harta zakat yang diambilnya, kemudian ia membebaskan.
Orang yang berutang
Gharimun (orang yang berhutang) adalah termasuk golongan mustahiq. Menurut Ibnu Humam dalam al Fath, gharim adalah orang yang mempunyai piutang terhadap orang lain dan boleh menyerahkan zakat kepadanya karena keadaannya yang fakir, bukan karena mempunyai piutangnya. Ada dua golongan bagi orang yang mempunyai utang, yaitu golongan yang mempunyai utang untuk kemaslahatan diri sendiri, seperti untuk nafkah, membeli pakaian, mengobati orang sakit. Golongan lain adalah orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan orang lain, seperti mendamaikan dua golongan yang bermusuhan, orang yang bergerak di bidang sosial, seperti yayasan anak yatim, rumah sakit untuk fakir, anak yatim piatu dan lain-lain.
Di jalan Allah
Quran menggambarkan sasaran zakat yang ketujuh dengan firmanNya: "Di jalan Allah". Sabil berarti jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang menyampaikan pada ridha Allah, baik akidah maupun perbuatan. Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk bertakkarub kepada Allah, dengan melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat dan bermacam kebajikan lainnya.

Ibnu sabil
Ibnu sabil, menurut Jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir, yaitu orang yang melintas dari suatu daerah ke daerah lain. Dikatakan untuk orang yang berjalan di atasnya karena tetap di jalan itu. Menurut pendapat beberapa ulama, ibnu sabil mempunyai hak dari zakat, walaupun ia kaya, apabila ia terputus bekalnya. Ibnu Zaid berkata: "Ibnu sabil adalah musafir, apakah ia kaya atau miskin, apabila terdapat musibah dalam bekalnya, atau hartanya samasekali tidak ada, atau terkena sesuatu musibah atas hartanya, atau ia samasekali tidak memiliki apa-apa, maka dalam keadaan demikian itu, hanya bersifat pasti.

Sedangkan fihak-fihak di luar dari 8 golongan (asnaf) ini tidak dibenarkan menerima uang dari zakat. Tetapi tidak tertutup fihak-fihak tersebut menerima bantuan dari infaq. Jadi sasaran zakat lebih spesifik dari pada infaq. Artikel selanjutnya: Bagaimana cara yang baik untuk membayarkan zakat

Zakat penghasilan/Gaji

Masih mengenai pemberian zakat penghasilan, apakah boleh saya memberikan kepada anak dari paman suami saya yang sudah yatim (Ibunya meninggal) tetapi masih sekolah dan saya lihat sangat membutuhkan karena paman dari suami saya itu tidak mempunya pekerjaan tetap/sebagai buruh.

Dan apakah harus diucapkan secara lisan atau apakah boleh saya niatkan di dalam hati saja pada waktu memberikan nya.

Satu lagi seandainya saya ingin memberikan kepada anak yang masih mempunyai orang tua tetapi orang tua nya kurang mampu dalam hal ini si ayah tidak memberikan nafkah / tidak mengurus kepada keluarga sementara si ibu bekerja dan penghasilan nya tidak mencukupi.
Rasulullah bersabda: " Bila engkau membayar zakat kekayaan maka berarti engkau telah membuang yang tidak baik darinya". (H.R. Hakiem)

1. Mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya sedekah-sedekah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang¬orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang di bujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak. Orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah,dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Taubah/9:60).

Dari penjelasan ayat di atas, jelaslah bahwa zakat hanya boleh didistribusikan kepada delapan asnâf (kelompok), yaitu : pertama; fakir, kedua; miskin, ketiga; Amil, keempat; muallaf, kelima; ar-riqâb (budak), keenam; al-ghârimin (orang yang berhutang), ketujuh; fi sabilillah, kedelapan; ibnu sabil.

Menurut ulama fikih bahwa anak dari paman suami mereka dikategorikan bukan berada dibawah tangggungan Ibu Ana dan suami langsung. Jika mereka memenuhi syarat fakir atau miskin berdasarkan ayat tersebut, maka mereka berhak mendapatkan zakat dari harta Ibu. Oleh karenanya, ulama menjelaskan bahwa sebab dengan kefakiran dan kemiskinanlah mereka bisa dikategorikan sebagai orang yang berhak menerima zakat (mustahik zakat). Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan dalam kitabnya “Fiqhu az-Zakat” pemberian zakat kepada orang yang tidak wajib bagi orang yang berzakat memberi nafkah kepadanya (termasuk anak dari paman suami), maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat. Nabi saw. Beliau berkata kepada Abu Thalhah ra tentang sedekah yang akan ia berikan, “Berikanlah kepada kerabat dekat!” (HR al-Bukhari). Kewajiban kitalah untuk membantu saudara sendiri yang mereka sedang menghadapi kekurangan ekonomi. Islam sangat memerintahkan untuk membantu sesama manusia terutama yang terdekat.

Adapun keluarga yang tidak boleh menerima zakat yaitu mereka yang berada dalam tanggungan Ibu Ana. Jumhur ulama menjelaskan ada kategori siapa saja orang-orang yang tidak boleh menerima zakat di antaranya bapak, ibu atau kakek, nenek hingga ke atas atau anak-anak hingga ke bawah atau isteri dari orang yang mengeluarkan zakat, karena nafkah mereka di bawah tanggung jawab kita sebagai anak/menantu. Rasulullah Saw bersabda: “Kamu dan hartamu itu untuk ayahmu” (HR. Ahmad dari Anas bin Syu’aib) Dr. Yusuf Qardhawi menjelaskan dalam kitabnya “Fiqhu az-Zakat” pemberian zakat kepada kerabat yang tidak wajib bagi orang yang berzakat memberi nafkah kepadanya, maka tidak berdosa memberi kepadanya zakat.

Jadi, diperbolehkan menyalurkan zakat kepada anak dari paman suami yang bukan tanggungan langsung dari Ibu Ana dengan syarat mereka dalam keadaan membutuhkan (fakir atau miskin). Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam menyalurkan zakatnya dan berusaha sesuai dengan anjuran syari’at Islam agar zakatnya sampai pada yang berhak.

2. Mayoritas mazhab fuqaha berpendapat, bahwa niat itu merupakan syarat dalam mengeluarkan zakat, karena zakat itu adalah ibadah, sedang ibadah tidak sah kecuali dengan niat. Allah berfirman QS. Al-bayyinah (98):5 dan Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya sahya perbuatan itu hanyalah dengan niat”. (HR. Muslim)

Menurut ulama fiqih pemberian harta kepada anak dari paman suami tersebut tergantung pada niatnya. Jika diniatkan zakat bisa dikatakan sebagai zakat. Tetapi jika diniatkan infaq/sedekah, statusnya sebagai infaq/sedekah. Pemberian harta kepada anak dari paman suami ibu Ana yang sedang membutuhkan bantuan harus dengan niat berzakat boleh berniat secara jahron/terang-terangan (dengan dikasih tahu bahwa bantuan tersebut adalah zakat ibu yang ditunaikan) atau boleh juga dengan sirron/sembunyi-sembunyi (tidak diinformasikan bahwa bantuan tersebut adalah zakat ibu, cukup dalam hati saja). Tetapi jika harta yang dikeluarkan tersebut diniatkan infaq/sedekah, statusnya juga akan berubah menjadi infaq/sedekah.

3. Sama dengan jawaban pertama, bahwa berdasarkan firman Allah Swt QS At-taubah (9): 60 Allah menjelaskan tentang orang yang berhak mendapatkan zakat diantaranya karena ada alasan fakir dan miskin. Maka mereka sangat berhak mendapatkan zakat. Zakat adalah sebuah kewajiban yang bersifat sosial pemberdayaan. Pandangan ini didasarkan atas argumen: urutan pertama asnaf zakat (fakir) adalah kelompok ekonomi lemah, tidak mampu memenuhi sebagian kebutuhan dasar hidupnya dan tanggungannya. Ini menegaskan peran krusial sosial dari zakat. Orang fakir yaitu orang yang tidak memiliki harta atau penghasilan yang layak dalam memenuhi keperluannya seperti sandang, pangan, tempat tinggal dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya maupun untuk menjadi tanggungannya. Dengan kata lain fakir bisa diartikan orang-orang yang sehat atau jujur, tetapi tidak mempunyai pekerjaan sehingga tidak mempunyai penghasilan. Ada sebagian ulama yang menjelaskan juga tentang kategori fakir mereka adalah orang-orang jompo, termasuk anak yatim piatu bahkan orang-orang cacat yang tidak mempunyai penghasilan.

Alhasil, zakat yang diberikan kepada anak yang keluarganya tidak mampu/ penghasilan orang tuanya tidak mencukupi dan kondisi perekonomiannya sulit (fakir) maka sangat dianjurkan/ diperbolehkan. Sebab, mereka dikategorikan sebagai kelompok orang-orang fakir (mustahik zakat). Zakat memang harus diberikan kepada yang berhak (mustahik) yang sudah ditentukan menurut agama. Penyerahan zakat boleh dilakukan sendiri langsung namun lebih afdhal (utama) adalah melalui badan amil zakat, lembaga amil zakat atau melalui unit pungutan zakat (upz) agar lebih adil dan amanah tersalurkannya.

Oleh karena itu, tidak diperkenankan memberikan zakat seluruhnya. Sebab, yang perlu diingat masih banyak mustahik/orang yang berhak mendapatkan dana dari zakat tersebut. Umumnya ulama menyarankan lebih utama kita menyalurkan zakat kepada lembaga yang amanah agar lebih adil dan tidak menumpuk pada satu orang/mustahik. Justru dengan penyaluran melalui lembaga tersebut akan banyak lagi masyarakat miskin (para mustahik) yang dapat terberdayakan.

Demikian semoga dapat dipahami. Waallahu A’lam.

Kamis, 25 November 2010

Cara Tobat dari Zina dan Hukumannya Sekarang

Asw. Bu Siti, senang rasanya saya dapat konsultasi masalah keluarga melalui kolom ini.

Saya kini sudah bertobat dari segala maksiat yang saya lakukan. Sebelum menikah, saya sudah pernah berzina dengan istri saya. Bagaimana hukuman yang harus saya terima? Insya Allah saya terima. Kemudian kami sering bertengkar karena masalah hubungan saya dengan wanita-wanita sebelum saya menikah. Tapi hanya pada istri saya, saya pernah melakukan hal demikian. Kini saya benar-benar ingin bertobat dan menyesali perbuatan saya. Mohon bantuan Ibu.

Wass.

g
Jawaban

Adakah Pengampunan Untuk orang yang Telah berbuat Zina?

Kasus Serupa: Saya seorang laki-laki, dan saya telah melakukan perbuatan zina dengan pacar saya, sebanyak 3 kali. Apakah Dosa saya masih bisa di ampuni? Semenjak melakukan perbuatan itu saya lebih mendekatkan diri kepada Allah dan saya ingin bertaubat. Bagaimana cara bertauba ? Bagaimana cara saya menebus dosa-dosa saya tersebut?

(Saudagar)

JAWAB:

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh,

Sdr. G & Saudagar yang dirahmati Allah,

Saya prihatin dengan apa yang saat ini sering terjadi pada hubungan antar jenis yang dilakukan oleh dua sejoli yang berpacaran, karena hubungan tersebut tidak bisa ditutupi telah sering menjurus pada ma’shiyat. Islam bukan hanya mencoba bertindak setelah kejadian itu berlangsung, namun lebih urgen adalah pada upaya preventif untuk memagarinya sebelum terjadi.

Pacaran saat ini telah mengkhawatirkan dari sisi telah membuka pintu zina. Padahal umat Islam dilarang mendekati zina, apalagi mengerjakan zina tentu lebih dilarang lagi. Namun demikian pada kasus Anda, saya salut dan bersyukur, Anda menyadari dosa-dosa yang telah terjadi dan ingin memperbaikinya. Bergembiralah karena Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, membuka pintu taubat untuk manusia asal itu dilakukan sebelum ajal menjemput.

Dalam Hadits Qudsi disebutkan: ”Hai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian selalu berbuat dosa pada malam dan siang hari, sedang Aku mengampuni dosa-dosa semuanya. Oleh karena itu, mohonlah ampun kepadaKu, niscaya aku akan mengampuni kalian.” (HR.Muslim)

”Hai anak Adam, selama kalian berdoa dan berharap kepadaKu, niscaya aku akan memberi ampunan kepada kalian atas semua dosa yang kalian lakukan tanpa Kupedulikan. Hai anak Adam, seandainya dosa-dosamu mencapai langit, kemudian kalian memohon ampun kepadaKu, niscaya Aku akan mengampuni semua dosa yang telah kalian lakukan tanpa Kupedulikan. Hai anak Adam, seandainya kalian datang kepada-Ku dengan membawa dosa-dosa sepenuh bumi, kemudian kalian datang tanpa mempersekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku akan datang dengan membawa ampunan sepenuh bumi.” (HR Tirmidzi)

Sdr G & Saudagar,

Rasulullah saw saja yang dapat dikatakan selalu terjaga dari dosa, mengamalkan istighfar untuk minta ampun pada Allah swt. lebih dari 70x sehari, apatah lagi kita yang berlumur dosa. Oleh karena itu banyaklah istighfar dan bertaubat. Selain itu iringilah dengan mengerjakan amal kebaikan yang menghapus dosa, sebagaimana firman Allah : ”sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang yang ingat.” (QS Huud :114)

Arti taubat menurut Muhammad Ibnu ”Alan as-Shiddiqi adalah kembalinya seseorang dari sesuatu yang tercela menuju sifat yang tepuji, dari larangan Allah menuju perintah-perintah-Nya, dari ma’shiyat menuju thaat, kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridlai-Nya, kembali dari yang saling bertentangan menuju yang saling menyenangkan, kembali kepada Allah setelah meninggalkanNya dan kembali thaat setelah menentang-Nya.

Sdr G & Saudagar, taubat kepada Allah akan diterima kalau memenuhi tiga syarat yang paling pokok, yakni:

Harus menghentikan ma’shiyat
Harus diikuti penyesalan yang mendalam
Berniat dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya kembali.
Menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan cara minta ma’af atau halalnya perbuatan tersebut; kalau berkaitan dengan barang maka maka wajib mengembalikan atau menggantinya dengan barang yang sepadan. Jadi kalau pacar Anda menuntut Anda, misalnya untuk menikahi, Anda harus bertanggungjawab sampai ada kerelaannya.

Semoga Anda dan kita dijadikan sebagai hamba-hamba yang bertaubat dan bersegera kembali pada-Nya. Amin...

Wallahu a’lam bish-shawab

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh

CARA BERTOBAT menurut islam

CARA BERTOBAT DARI ZINA
Keduanya bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha yaitu dengan memenuhi tiga syarat taubat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pertama, Keduanya harus menyesali perbuatan tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya penyesalan itu adalah taubat.” [1]

Karena itu hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.

Kedua, melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu. Tidak lagi mengulangi maupun mendekati apa-apa yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/ bercampurbaur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.

Ketiga, kemudian keduanya ber-’azam/ bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Juga beristighfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya. Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr Ash-Shiddiq tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.[2]

HARUSKAH KEDUANYA MENIKAH ?

Keduanya tidak harus menikah. Namun tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat: apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, maka tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil. Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh menikahinya. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu bahwa wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Karena di sana ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Karena itu rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir, sehingga rahimnya bebas tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, maka pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Dan tentunya ini apabila keduanya bertaubat dari perzinaan.

Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina) maka keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (An-Nur: 3)

Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan sebaliknya wanita pezina juga haram dinikahi. Jadi bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertaubat dari perzinaan tersebut, sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.

BAGAIMANA STATUS ANAK KEDUANYA ?

Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai tersebut hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan. Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya, karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula tidak boleh saling waris-mewarisi. Juga seandainya anak tersebut wanita, maka laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan dan juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Sehingga laki-laki itu tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya. Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut, karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama. Wallahu a’lam bish-shawab

Cara Bertobat

Bagaimana cara utk bertobat supaya tidak melakukan perbuatan yg dilarang oleh ALLAH SWT? Sebab selama ini saya telah melakukan perbuatan yg sangat tidak disukai oleh ALLAH SWT. Seperti mencuri berzina berbohong dan masih banyak perbuatan yg dilarang oleh ALLAH SWT. Saya ingin sekali bertobat agar dapat menjauhi perbuatan buruk itu selamanya.

Karena saya merasa berdosa kepada ALLAH SWT dan kepada kedua orang tua saya.

Saya bingung krn saya selalu tidak dapat mengendalikan hawa nafsu saya.

Saya selalu membuat masalah yg pada akhirnya berdampak kepada psikologis kedua orang tua saya. Saya seperti hanya sadar sebentar kemudian kembali melakukan perbuatan yg semestinya tidak dilakukan oleh hamba2 ALLAH.

Sekali lagi saya minta pertolongan bagaimana caranya supaya saya dapat berjalan lurus dijalan ALLAH SWT krn usia saya masih muda tahun.

Jawaban Assalamualaikum wr. wb.

Saat ini Anda pasti merasa sangat berdosa sebab hal-hal yg Anda lakukan tadi. Namun Anda harus ingat bahwa selain Allah siksa-Nya sangat pedih Allah juga Mahapengampun. Yang harus Anda lakukan adl segera kembali kejalan Allah dan bertaubat.

Jika Anda ingin bertobat maka Anda harus bersungguh-sungguh dalam hal ini.

Ada beberapa pengorbanan yg harus Anda lakukan yaitu; 1. meminta Ampun kepada Allah. 2. menyesali perbuatan yg telah Anda kerjakan 3. berjanji tidak akan mengulanginya lagi 4. jika dosa yg dilakukan menyangkut hak orang lain hendaknya diselesaikan dgn orang yg bersangkutan seperti jika pernah mengambil hak orang lain secara dzalim.

Itu adl syarat-syarat bagi siapapun yg hendak bertaubat. Namun utk merealisasikan hal tersebut Anda beberapa hal yg harus Anda tempuh di antaranya Anda harus segera keluar dari lingkungan pergaulan Anda sekarang kemudian beralih bergaul dgn orang-orang saleh dan hanya membatasi pergaulan Anda dgn orang-orang yg baik saja. Hal ini adl syarat mutlak bagi siapapun yg ingin baik. Anda tak mungkin bisa baik jika masih berada dalam pergaulan lingkungan yg tidak baik.

Jika hal tersebut bisa Anda lakukan perkuatlah iman Anda setelah itu dgn banyak membaca Alquran melakukan amalan- amalan sunah {zikir puasa salat dan lain-lain} memperbanyak berbuat kebaikan dan selalu berusaha lbh mendekatkan diri kepada Allah.

Hal-hal tersebut mungkin pada awalnya akan terasa berat namun Anda harus bersabar dan mencobanya. Dengan kesabaran dan kesungguhan ingin kembali kepada Allah insya Allah Dia pasti akan memudahkan jalan bagi Anda. Anda serta keluarga Anda pasti akan merasakan kedamaian yg hakiki dan keluarga tidak lagi merasa terbebani dgn keberadaan Anda.

Ke depan jika Anda ingin melakukan sesuatu pikirkanlah dahulu tentang siapa diri Anda mengapa Anda ingin melakukan hal itu dan apa akibat dari perbuatan Anda itu. Insya Allah hal ini akan membantu. Wallahu a’lam. .

Sumber Asyabalunal ‘Ulama Muhammad Sulthan.

Design by infinityskins.blogspot.com 2007-2008